Movie,
Film Cek Toko Sebelah: Sentimentil Toko Dan Cinta Ayah
Terus terang, saya menonton film ini lebih dulu sebelum menonton trailer-nya. Namun dari obrolan di media sosial, saya mendapat gambaran bahwa film ini mengetengahkan tentang toko yang dikelola seorang keturunan Tionghoa. Dari menyimak komentar-komentar dan melihat posternya, saya menjadi tertarik menonton filmnya. Tapi saya enggak menyangka sama sekali akan merasakan keterikatan yang kuat dengan film ini. Sebelumnya, saya ingin memberi prolog bahwa postingan ini merupakan review film yang kadar curhatnya lebih tinggi dari ulasan filmnya. Saya bakalan curhat panjang dulu sebelum masuk ke ulasannya. Jadi harap sabar ya ^^
Saya dan Toko Ayah
Saya anak seorang pedagang pemilik toko peralatan jahit. Ayah saya memiliki wajah oriental, karena itulah Ayah sering dipanggil "Kokoh" oleh para pelanggannya. Ayah sebenarnya bukan keturunan Tionghoa, beliau berasal dari Palembang. Kalau melihat orangtua Ayah dan saudara-saudaranya yang tinggal di Sumatera sana, mata mereka sipit-sipit dan berkulit putih. Maka wajar memang kalau Ayah dipanggil Koko. Begitu pula dengan saya yang kerap kali dipanggil "Cici". Bahkan ketika bertemu dengan teman-teman Tionghoa, saya seringkali diajak mengobrol bahasa Mandarin, yang tentu saja saya yang tidak mengerti sama sekali hanya mampu terbengong-bengong. Jangankan bahasa yang ruwet, gopek dan cepek saja sampai sekarang saya tidak tahu itu uang berapa >.<
Kami keluarga besar yang dihidupi oleh toko Ayah. Toko itu awalnya dikelola Ayah dengan Mama, sekarang sudah dikelola beliau bersama kedua kakak laki-laki saya. Awalnya mereka menolak karena masing-masing memiliki impian sendiri. Tetapi akhirnya berjuang di toko sepenuh hati setelah impian mereka dikandaskan kenyataan. Kakak-kakak saya sempat bekerja di perusahaan besar beberapa tahun, mereka berhenti ketika terjadi krisis moneter dimana pengurangan pegawai merajalela. Syukurlah pada akhirnya mereka pun sangat menyayangi toko kami.
Saya dan Ayah di toko |
Semenjak ingatan memberi saya kenangan, toko ayah selalu hadir dalam
bayangan. Di toko itulah tempat kami bermain, mengambil barang-barang di
dalamnya seenaknya untuk permainan, berjalan hilir mudik melewati
kaki-kaki pelanggan, sampai berbagi telinga meminta Ayah bercerita apa
yang ada di benaknya. Sepanjang yang saya tahu, Ayah jarang sekali meliburkan tokonya. Hari libur Ayah hanyalah saat lebaran. Kadang saya bertanya-tanya, tak bosankah Ayah berjibaku dengan tokonya? Tak butuh jawaban, karena Ayah tak pernah alpa membuka toko untuk sekadar jalan-jalan. Mungkin itulah kesejatian cinta, toko adalah cinta Ayah untuk kami. Tempat menaungi dan melindungi kami. Meruahkan cinta lewat segala pernik di dalam sebagai segala penghidupan.
Postingan ucapan selamat ulang tahun buat Ayah di IG saya tanggal 25 Desember 2016 lalu. |
Postingan ucapan selamat ulang tahun buat Ayah di IG saya tanggal 25 Desember 2016 lalu. |
Saya dan kembaran, Evi namanya, memilih profesi sebagai freelancer karena merasa tak cocok bekerja sesuai jam kantor. Kami ingin mewujudkan impian dan passion di dunia penulisan. Empat tahun lalu, melihat pekerjaan kami yang serabutan dengan penghasilan tak tetap, kami sempat dipaksa Mama untuk membuka toko kelontongan. Mati-matian kami menolak permintaan Mama. Sampai sekarang, kadang Mama masih membicarakan hal itu. Dan kami masih keukeuh dengan pendirian.
Itulah latar belakang yang membuat saat menonton film "Cek Toko Sebelah" seperti sedang menonton potongan hidup saya sendiri.
Film Cek Toko Sebelah: Sentimentil Toko Dan Cinta Ayah
Cek Toko Sebelah (CTS) menceritakan tentang keluarga Koh Afuk (Chew Kin Wah) yang memiliki toko kelontongan. Toko itu dia rintis bersama mendiang istrinya. Di masa tuanya, Koh Afuk yang sakit-sakitan ingin pensiun dengan tenang. Dia lebih memilih mewariskan tokonya pada anak bungsunya yang bernama Erwin (Ernest Prakasa), daripada anak sulungnya, Yohan (Dion Wiyoko). Alasannya karena Yohan memiliki manajemen hidup yang buruk. Hal itu malah menjadi masalah bagi kedua anaknya. Erwin yang telah memiliki karier cemerlang tidak rela meninggalkan pekerjaan, sedangkan Yohan yang justru menginginkan menjadi penerus menjadi kesal pada adiknya. Hubungan Yohan dan ayahnya memang kurang baik, salah satu alasannya karena Koh Afuk tak menyetujui pernikahan Yohan dengan Ayu (Adinia Wirasti). Di sisi lain, seorang pengusaha yang diperankan Tora Sudiro ingin membeli toko tersebut.
Apakah Erwin akan meneruskan toko ayahnya atau justru akhirnya toko tersebut dijual Koh Afuk? Bagaimanakah akhir hubungan Yohan dan ayahnya?
CTS yang skenarionya ditulis Ernest dan sekaligus disutradarainya merupakan film drama komedi yang memiliki keseimbangan dalam kualitas dramatisasi konflik dan humornya. Kadang humornya cerdas, kadang pula terasa begitu dekat dengan keseharian. Komedinya berhasil membuat penonton tertawa. Apalagi disampaikan oleh para komika yang aktingnya dalam film ini terasa natural. Komposisi pembagian komedinya pun merata, kebanyakan tokoh turut andil membangun kelucuan sehingga terasa solid. Alur komedi cepatnya tak memberi ruang untuk rasa bosan. Meskipun tetap menyisakan komedi yang menyitir fisik, seperti eksplorasi tubuh wanita. Agak disayangkan sih, padahal tanpa itu, komedi film CTS sudah sangat hidup.
Bagian drama yang dimunculkan bergantian dengan komedi tak mengurangi kekuatan konfliknya. Setiap adegan drama dibangun dengan baik, apalagi konfliknya realistis. Mulai dari pelanggan yang hobi ngutang, pengelolaan toko yang masih tradisional, hubungan orangtua dan anak, sampai masalah mencari penerus. Konfliknya agak kompleks tapi penyampaiannya ringan sehingga mudah diserap penonton. Sayangnya, seperti adegan-adegan komedinya, pada bagian dramanya pun berlangsung cepat. Kurang memberi ruang bagi penonton untuk meresapi kesedihan yang dibangun.
Salah satu scene favorit saya adalah ketika Yohan meminjam uang pada Koh Afuk untuk menalangi dulu kebutuhan usahanya sebagai fotografer freelancer. Memang begitulah kenyataannya, sebagai freelancer, harus punya dana talangan ketika menjalankan satu proyek. Adegan itu mengingatkan pada pengalaman saya sendiri saat meminjam uang pada toko ayah. Bahkan percakapannya pun mirip.
Saya: Ayah, aku dapet kerjaan ngeliput acara di Jakarta. Tapi butuh dana dulu buat ke Jakartanya. Boleh pinjem dulu ke Ayah? Nanti kalau udah cair, Eva bayar. Palingan juga sebulan.
Ayah: Jangan janji dulu. Balikinnya seadanya uang aja. Daripada enggak nepatin janji.
Adegannya jleb moment banget!
Scene favorit saya yang lain adalah adegan flashback saat Yohan dan Erwin kecil. Mereka bermain di toko bersama mendiang mama dan Koh Afuk. Scene itu berhasil membangunkan kenangan masa kecil saya. Adegan yang touchy dan menguras emosi.
Scene favorit saya yang lain adalah adegan flashback saat Yohan dan Erwin kecil. Mereka bermain di toko bersama mendiang mama dan Koh Afuk. Scene itu berhasil membangunkan kenangan masa kecil saya. Adegan yang touchy dan menguras emosi.
Konflik-konflik dalam CTS mengena sekali untuk saya. Seperti kecintaan Koh Afuk pada tokonya, saya paham rasa sentimentil itu karena merasakan dan melihat sendiri kecintaan ayah saya pada tokonya. Bagaimana pun toko bukan sekadar usaha, tapi tempat anak-anaknya bertumbuh dan kenangan bersemayam. Kecintaan orangtua dan anak, meski kadang cara pikir dan pandang berbeda tetapi tak mengikis kedalaman cinta itu meskipun 'cara' menampakkan kasih sayangnya berbeda. Konflik batin Erwin yang harus memilih karier dan tak tega mengecewakan ayahnya, saya pun mengalaminya. Maka tiap scene dilema Erwin, saya selalu kepengin ngomong ke layar bioskop, "I feel you! I feel you!" Sirik-sirikan dengan saudara antara Yohan dan Erwin, saya pun seumur hidup berjibaku antara sayang dan iri dengan saudara kembar. Tidak saya pungkiri, faktor-faktor itu memang membuat saya gampang terharu, menyebabkan saya mudah masuk ke dalam cerita dan baper berat. Namun selain itu memang semakin ke belakang, pengadegannya makin bagus. Tensi konfliknya
berhasil mencapai klimaks. Saya dibuat termehek-mehek, hingga keluar
ruangan dengan mata sembap.
Foto dulu dengan banner CTS setelah nobar. Mata saya sembap banget. |
Ada hal menarik lagi dalam CTS. Berbeda dengan anggapan bahwa keturunan Tionghoa itu pelit, CTS seakan ingin membuktikan bahwa itu mitos belaka dengan dialog pelanggan yang bisa mengutang di sana dan harga kecapnya lebih murah.
Dari segi akting, hampir semua memperlihatkan akting natural, meskipun sebagian kurang prima. Asri Welas, Dion Wiyoko, dan Adinia yang menurut saya paling bagus. Seperti tidak sedang berakting, mereka berhasil menghidupkan tokoh-tokohnya. Chemistry Dion dan Adinia pun terasa sekali sebagai suami istri. Adapun yang masih terasa kurang buat saya adalah Chew Kin Wah. Saya agak terganggu dengan beberapa dialog Chew Kin Wah yang nadanya agak datar. Hanya nadanya saja sih, bertolak belakang dengan ekspresinya yang maksimal. Bagi saya tidak ada yang mist dalam mimik Chew, dia selalu tampak berusaha total dalam setiap adegan, tapi ya itu, agak keteteran di nada bicara. Bahkan ekspresinya dalam scene klimaks konflik berhasil membuat saya berurai air mata. Akting Ernest dan Gisella cukup saja. Sayang chemistry mereka sebagai sepasang kekasih kurang tergali. Saya merasakan adanya 'jarak' di antara mereka. Kurang lepas. Ketimbang chemistry sebagai kekasih, mereka lebih tampak seperti dalam tahap pendekatan. Sedangkan akting para komika, seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, hidup dan natural.
Untuk gambarnya sendiri, saya suka. Memanjakan mata. Apalagi didukung dengan soundtrack yang pas. Sangat membantu membangun suasana. Makeup dan wardrobe-nya pun bagus. Pemilihan busana dan tata riasnya memperkuat karakter masing-masing tokoh. Kelemahan CTS bagi saya ada pada salah satu penyelesaian konflik besarnya. Karena masalah-masalah dalam film ini begitu realistis, saya mengharap penyelesaian konflik realistis pula. Sayangnya Ernest memilih menutup konfliknya dengan kejadian yang mengawang. Mungkin agar unsur komedinya tetap kental. Tapi saya kurang puas, ada begitu banyak pilihan penyelesaian, tapi kenapa memilih itu?
Pesan film ini tertransfer dengan baik pada penonton. Saya kira, tidak butuh mencernanya dengan mumet. Disampaikan pula dengan dialog-dialog yang quotable. Bagusnya lagi, tidak menggurui.
Pesan film ini tertransfer dengan baik pada penonton. Saya kira, tidak butuh mencernanya dengan mumet. Disampaikan pula dengan dialog-dialog yang quotable. Bagusnya lagi, tidak menggurui.
Di luar kedekatan personal saya dengan ceritanya, secara objektif saya menilai Cek Toko Sebelah film bagus yang memorable. Rating saya untuk Cek Toko Sebelah 3,5 bintang dari 5.
Aku lihat Giselle sebagai Natali juga seperti kagok. Kayak waktu dia ngobrol sama Erwin di akhir-akhir film chemistrynya kurang keliatan sebagai kekasih. Btw Dion Wiyoko nampak mature banget di film ini. Ya ga, sih? Hihi
BalasHapusIni bagus banget reviewnya, sampai merinding bacanya :(
BalasHapusceritanya unik ya mbak ..pingin nonton
BalasHapusReviewnya cakep mba. Jadi penasaran apakah film CTS ini lebih lucu daripada yang sebelumnya :)
BalasHapusBaru liat trailernya doang nih kak, belum sempat nonton...
BalasHapusLagi rame bgt diobrolin sama2 kawan kawan kerjaan, tapi apa daya belum bisa nonton, antara kos dan bioskop jauh, dan belum punya kendaraan :l
Ulasannya bagus kak, seperti sedang menulis pengalaman sendiri, pengalaman dgn toko ayah sendri... :))
Mba Evaaa...aku kira Mba Eva dan Mba Evi ini tionghoa loh, beneran..hihi
BalasHapusDan saya selalu suka sama tulisannya. Aduh, mestinya Ernest latihan nulis fiksi bareng Mba Eva dulu deh..hihi.. Saya pernah baca cerpennya Mba Eva, lupa judulnya pokoknya tentang teater, dan itu baguuuss..
Ih Eva, reviewnya detail banget. Baguuuus... Aku yang belom nonton jadi bisa ngebayangin. Belajar ngereview kayak gini ah...
BalasHapusAduuuh ... Aku ikutan baper :(
BalasHapusKalo kelak Ernest bikin sequel,.kurasa dia harus melibatkan Teh Eva di dalamnya.
Pengen nonton.. tp di kota saya ga ada bioskop. Hiks..
BalasHapusPengen nonton.. tp di kota saya ga ada bioskop. Hiks..
BalasHapuskeren, Eva ... belajar banyak dari tulisan ulasan di atas. Dan pengen nonton, euy ?!
BalasHapusAh ngak sabar bulan depan nonton di layar SCTV, semoga segera tayang
BalasHapusBah..mas cumi malah nunggu versi layar kecilnya.. ngga mau menyaksikan versi layar lebarnya mas..mumpung masih tayang?
HapusEmang, Vi, bunda juga punya rada banyak family yang nikah sama orang Palembang, yang wajah-wajah mirip-mirip Chinesse people, gitu. Asyik donk, kalo bosen di rumah bisa nongkrong di warung ayah, nih, Vi.
BalasHapusbaca ini jadi tambah pengen nonton filmnya.. :)
BalasHapuseh ketinggalan..
BalasHapusSuka sekali baca cerita tentang ayah dan tokonya. Aku jadi membayangkan situasinya. Makasih ya.. aku ikut larut dalam kisahnya :)
eh ketinggalan..
BalasHapusSuka sekali baca cerita tentang ayah dan tokonya. Aku jadi membayangkan situasinya. Makasih ya.. aku ikut larut dalam kisahnya :)
Hebat Eva, resensinya saja sudah bisa jadi satu film keluarga Eva. Hehehe...
BalasHapusBelum sempat nonton sih, padahal ingin juga
Harus cepat-cepat nonton nih sebelum gak tayang di bioskop.
BalasHapusWah ... saya ketinggalan berita nih tentng dunia perfilimen.
BalasHapusWaaah jadi pengin punya toko alat kerajinan heheee Lihat trailernya di TV juga sih & pemainnnya diwawancara. Kebanyakan alumnus stand up comedy ya.
BalasHapusAku pengin nonton filmnya di bioskop tapi kayaknya ga sempet deh huhuhu
BalasHapusAku jadi sedih bacanya :(
BalasHapusreviewmu kak. jangan gini amat dong. Aku jdi rindu almarhum bapakku :(
BalasHapusagnesiarezita(dot)com
Wah kayaknya bagus ya filmnya. Jadi pengen nontooon hehe
BalasHapus