Film,

Mencari Hilal: Film Yang Membuka Keberagaman Interpretasi

17.09 Eva Sri Rahayu 2 Comments

sumber: moslemforall.com









Isi kepala dalam satu keluarga yang memiliki tali darah dan turunan DNA saja sudah berbeda dalam menyikapi sesuatu, apalagi Indonesia dengan ratusan juta warganya, sudah pasti sangat memungkinkan perbedaan dan benturan pemikiran. Itulah yang terjadi dalam film Mencari Hilal besutan sutradara Ismail Basbeth. Perbedaan memang merupakan isu purba yang terus upgrade sehingga selalu menjadi isu kekinian.

Film yang diproduksi oleh MPV Pictures, Denny JA, Dapur Film, Argi Film, dan Mizan Productions ini mengisahkan tentang Mahmud (Deddy Sutomo) yang memperjuangkan Islam lewat jalan dakwah. Segala sesuatu dijalankannya dengan niat ibadah, termasuk berdagang. Karena itu dia tidak pernah mengambil untung besar, meskipun mendapat protes dari para pedagang lain, Mahmud kokoh dengan pendiriannya. Suatu hari Mahmud mendengar bahwa sidang isbat Kementrian Agama menelan biaya milyaran rupiah, hal itu membuatnya terpukul dan memutuskan untuk melakukan perjalanan mencari hilal sendiri. Keputusan itu ditentang Halida (Erythrina Baskoro)--anak pertama Mahmud--karena keadaan kesehatan Mahmud yang terus merosot. Maka ketika Heli (Oka Antara)--anak bungsu Mahmud--yang tidak pulang-pulang kebetulan datang, Helida dengan enggan mengizinkan ayahnya berangkat jika ditemani Heli. Tentu saja Heli yang pulang hanya untuk meminta bantuan pembuatan pasport pada kakaknya, menentang. Apalagi hubungan Heli dan ayahnya tidak baik. Namun akhirnya ayah dan anak lelaki itu berangkat juga mencari hilal. Perbedaan cara pikir dan pandang ayah dan anak ini membuat perjalanan mereka menemui maknanya.

Hal pertama yang membuat saya betah menonton film ini adalah akting para pemainnya yang kuat dan natural. Bukan hanya ketiga tokoh utamanya, tetapi semua pemain termasuk peran selewat sekali pun bermain maksimal. Angkat topi untuk Ismail Basbeth. Chemistry para pemainnya pun terbangun dengan baik. Para penulis skenario Mencari Hilal yaitu Salman Aristo, Bagus Bramanti, dan Ismail Basbeth berhasil membuat dialog-dialog yang cerdas, dan humor satir yang benar-benar membuat senyum mengembang sekaligus mengajak berpikir. Sayangnya kenikmatan itu berkurang karena alur ceritanya yang lambat, kemunculan satu letupan ke letupan lain membutuhkan waktu lama sehingga membuka ruang untuk rasa bosan.

Pada awalnya saya merasa film ini menyampaikan pesan moralnya dengan cara yang menggurui, misalnya lewat adegan dakwah Mahmud di Mushola, terutama adegan di dalam bus saat Mahmud memberi nasihat pada sopir yang tidak berpuasa. Mahmud bahkan terang-terangan menanyakan pertanyaan krusial yang sangat pribadi, yaitu apakah si sopir pernah melakukan zina? Menurut saya, cara penyampaian pesan moral seperti ini terlampau basi untuk menyentuh kesadaran penonton, pasti selalu ada cara yang halus untuk menyampaikan pesan moral. Namun, dari sepertiga adegan akhir film, pandangan saya sedikit demi sedikit terpatahkan. Lewat pengembangan kisah yang lebih membuka interpretasi penonton, pesan moral tadi disampaikan dengan halus dan tidak lagi menggurui. Bahkan saya terkejut dengan pengembangan itu karena dari kacamata saya, apa yang disampaikan kemudian menjadi agak berbenturan dengan apa yang disajikan di awal. Sebutlah bahwa Mahmud ini begitu percaya bahwa apa-apa bisa diselesaikan secara Islami, tetapi ketika dia dan Heli dihadapkan pada masalah realitas permusuhan yang terjadi karena perbedaan keyakinan, justru solusi datang dari Heli yang notabene sepanjang film diperlihatkan tidak mempedulikan ajaran agamanya. Heli lah yang menjawab pertanyaan warga: Apa ada solusi terbaik dari permasalahan mereka? Kenapa penulis skenario tidak memilih kebijakan atau solusi itu datang dari Mahmud? Atau mungkin ini memperlihatkan pengembangan karakter Heli yang telah melakukan perjalanan bersama ayahnya yang membuat kesadaran dalam dirinya muncul sedikit demi sedikit. Bahwa Heli menyimpan spirit ke-Islaman dalam jiwanya. Hal ini membuat saya berpikir mungkin setingan ini dibuat untuk mengimbangi penyampaian pesan moral yang terlampau menggurui tadi, sehingga penonton lebih diajak berpikir melihat keindahan Islam di kedalamannya ketimbang luarannya saja.

Bagian terbaik dari skenario menurut pandangan saya ada pada konflik kerusuhan karena peribadatan umat Kristen yang dibubarkan. Kenapa terbaik? Karena dalam film ini, setelah ditelusuri akar masalahnya bukan pada perbedaan agama dan peribadatan, tapi karena masalah parkir. Konflik ini sangat cerdas karena memang seringkali hal yang tampak sepele itulah yang menyebabkan masalah besar. Itulah mengapa dalam Islam kita diajarkan untuk menjaga hubungan dengan manusia (hablumminnas). Bahwa kita bisa saling menghormati segala perbedaan dan menjaga kedamaian dengan memperhatikan segala hal kecil di sekitar sehingga tidak membuka tempat untuk permusuhan.

Yang tidak kalah menariknya adalah dua karakter utama dalam film ini, yaitu Mahmud dan Heli. Kedua tokoh ini dibuat dengan sangat manusiawi dan membumi. Mahmud, di satu sisi begitu erat memegang agama, tetapi tetap digambarkan memiliki kelemahan yaitu dianggap bukan bapak yang baik oleh Heli. Sedang Heli sendiri yang merupakan aktivis kemanusiaan, malah tidak peduli pada keluarganya sendiri. Kekurangan-kekurangan itulah yang membuat penonton akan merasa dekat dengan mereka.

Sampailah pada ending filmnya. Akhir kisah ayah dan anak dalam pencarian hilal ini berhasil menguras air mata saya. Kemudian kesimpulan saya, film Mencari Hilal ini membuka ruang yang luas bagi penonton untuk menginterpretasi dan membuka tempat untuk keberagaman pikir. Film yang layak ditonton bersama keluarga.

You Might Also Like

2 komentar: