brother,
Kreasi Seru Kolaborasikan Menjahit Dengan Doodle
Menjahit sebenarnya
bukan dunia asing buat saya. Selain karena Ayah membuka toko bahan-bahan jahit,
sejak kecil, Mama sering menjahitkan baju-baju kembar untuk saya dan Evi. Saya
seringkali menonton Mama ketika tekun menjahit. Saya juga punya ketertarikan
untuk menjajal dunia jahit. Mimpinya sih waktu kecil dulu kepengin mendesain
dan menjahit sendiri, terus buka butik deh. Namun satu kejadian bikin Eva kecil
berhenti belajar jahit. Waktu itu saya dan Evi lagi semangat-semangatnya
belajar, usia kami baru 9 tahun. Kami bergantian memakai mesin mama. Saking
asyiknya menjahit, Evi enggak sadar kalau jarum jahitnya menusuk menembus telunjuknya.
Saya menunjuk ke jari Evi sambil menjerit, barulah adik kembaran saya itu sadar
kemudian syok. Masih jelas diingatan saya ketika Ayah mencabut jarumnya, hingga
darah berceceran ke lantai. Semenjak itulah saya enggak lagi menyentuh mesin
jahit.
Beberapa tahun
kemudian, saat SMP, saya dipertemukan kembali dengan dunia menjahit dalam
pelajaran Tata Busana. Kami diajarkan berbagai macam tusuk-tusukan, seperti
jelujur dan kawan-kawannya. Meningkat ke menjahit baju-baju kecil dengan tangan
menggunakan bahan kertas entah apa namanya saya lupa. Awalnya saya menyukainya,
tapi lama-lama karena hasil jahitan saya enggak pernah rapi dan nilai tertinggi
hanya 75, saya pun lagi-lagi putus hubungan dengan dunia jahit ketika lulus
SMP. Namun minimal, ada basic-lah kalau cuman benerin kancing copot doang mah.
Makanya suka sebel kalau Prajurit Rumput bajunya robek dikit terus nanya, “Bisa
jahitin gak?” Seolah ngeliat jarum aja saya bakalan pingsan.
Lain
cerita jahit dengan dunia gambar. Sesungguhnya, karya pertama yang saya
hasilkan itu komik pendek. Bercerita tentang Fredy si robot baik hati.
Pembacanya hanya Evi seorang. Saya memang tertarik dengan gambar-menggambar.
Sampai SMP saya masih suka meniru-nuri gambar komik dan majalah. Karier paling
cemerlang di dunia gambar adalah sewaktu kelas 3 SMP. Saya bisa menggambar dari
model pemandangan dan barang nyata. Suatu hari pelajaran kesenian mengharuskan
para murid membuat gambar bebas. Maka saya memilih menggambar taman depan
kelas. Ternyata gambar itu mendapat apresiasi luar biasa dari teman-teman dan
guru. Alhasil saya diminta beberapa teman menggambarkan untuk mereka. Bahkan
saya diberi julukan lebay “Picaso”. Namun, karier saya amat pendek. Selepas
SMP, saya menggantung alat-alat gambar. Berhenti sampai di sana. Ulang tahun
Ayah saya tahun lalu, saya mencoba menggambar skesta Ayah. Hasilnya gagal
total, kata Ayah, “Enggak ada mirip-miripnya sama sekali.”
Dua
dunia yang sudah saya jauhi itu menyapa sekaligus dalam satu workshop yang diadakan Kriya Indonesia.
Saya dihadapkan pada mesin jahit dan spidol warna. Hari itu perasaan saya
campur aduk antara semangat, deg-degan, dan takut.
Saya
datang jam setengah sebelas siang, disambut teman-teman blogger yang ramah,
pengajar cekatan, pihak Brother dan Stabillo yang hangat, dan camilan lezat buatan
Marlo Kitchen. Sesi pertama dibuka oleh bincang-bincang seru dengan Mbak Astri
sebagai pengajar, Mbak Maya dari Brother, perwakilan dari Stabillo, dan Abu
Marlo lulusan The Master.
Sesi
kedua membuat adrenalin saya berpacu cepat, waktunya menjahit. Baru memegang
alat dan bahan saja saya sudah gemetaran. Syukurlah, saya mendapat dukungan
spirit dari Bunda Intan dan teman-teman blogger lainnya. Sambil menyimak Mbak
Astri menerangkan, sesekali saya mengambil foto dokumentasi untuk menenangkan
hati. Ketika akhirnya saya harus menggunting kain, saking berdebarnya, hasilnya
cukup berantakan. Awalnya saya belajar menggunakan mesin jahit Brother dari
Kang Ade Truna. Penjelasan runut beliau dan bantuan praktik langsung, membuat
saya perlahan larut dalam kegiatan menjahit. Untungnya lagi Mbak Astri sabar
mengajarkan saya cara menjahit lurus dan menghadapi bentuk kain melengkung
sehingga saya bisa menyelesaikan baju sekaligus menyelamatkan guntingan
acak-acakan tadi.
Ternyata
menjahit menggunakan mesin jahit Brother enggak sulit seperti yang ada dalam
bayangan saya sebelumnya. Mulai dari memasukan benangnya pun mudah, saya enggak
mesti memicingkan mata karena tinggal mengikuti alur mesin yang didesain
sedemikian rupa sampai benang masuk sendiri ke jarum. Pengaturan kecepatan
mesin yang terdiri dari level satu, dua, dan tiga pun sungguh melegakan. Saya
tak perlu takut menekan pedal terlalu kencang sehingga mesin tak dapat saya
kendalikan. Benar-benar membantu pemula.
Selesai
menjahit, saya pun masuk ke ruangan lain untuk belajar doodle. Doodle ini
dimaksudkan untuk menghias baju yang sudah dijahit tadi. Saya belajar pada Teh
Ima dan Mbak Tanti Amelia yang ramah luar biasa. Mbak Tanti pandai memotivasi
para peserta untuk tidak takut menggambar doodle.
Bukan persoalan bagus atau enggaknya, tapi tahap awal adalah keberanian
berkreasi. Doodle pertama saya
memakai spidol permanen dari Stabillo berbagai warna. Warna-warnanya cantik
menggoda, dan hebatnya enggak mengandung zat berbahaya yang membahayakan tubuh
saat terhirup atau menempel di tangan.
Sambil
berpikir akan menggambar apa, saya menyelingnya dengan makan siang yang sudah
disajikan Marlo Kitchen. Saya mencicipi Nasi Balinya dan Soto Betawinya lezat
memanjakan lidah. Sotonya saya icip dari Teh Ida yang merelakan sebagian karena
saya kepengin nyoba. Setelah perut kenyang, saya kembali berhadapan dengan
peralatan doodle. Awalnya saya kebingungan
akan menggambar apa. Setelah diberi tahu bahwa doodle biasanya menggunakan kotak-kotak, yang pertama saya buat
adalah kotak. Barulah setelahnya saya bisa mengekspresikan diri dalam gambar.
Saya gambar apa saja yang terpikir di benak. Sungguh menyenangkan, sampai
enggak kerasa waktu workshop berakhir.
Sayangnya waktu itu doodle saya belum
selesai sempurna. Saya berniat menyelesaikannya di rumah.
Menurut
saya, idenya brilian menyatukan workshop
jahit dengan doodle. Selain peserta
mendapat basic dua keahlian sekaligus
dan hasilnya bisa dipakai pula, juga memberi ide untuk mengaplikasikannya lain
waktu. Saya turut mengamini impian Mbak Maya men-support acara ini supaya lebih banyak ibu rumah tangga dapat lebih
produktif dari rumah.
Workshop kriya ditutup dengan foto
bersama dan obrolan menyenangkan. Saya jadi ingin mengikuti workshop-workshop Kriya Indonesia
berikutnya. Saya pun pulang dengan pengalaman seru yang ingin cepat saya bagi
pada Mama. Mama pasti senang anaknya menyentuh mesin jahit lagi.
![]() |
Seluruh peserta dan panitia berfoto bersama |
Evi, foto terakhir jadi pengen balikan ke Marlo dan gelar acara lagi (gak sih?)
BalasHapusEh kayaknya ada yg perlu dilurusin (bukan menjahitnya), finalis Master Chef tapi lulusan The Master (sulap) season 1 :D
kok Evi sih ... (gara2 baca ketusuk jarum sampai berdarah sih) Maksud saya : Abu Marlo BUKAN finalis Master Chef TAPI lulusan The Master (sulap) season 1 :)
BalasHapusNah loh Kang Ade tersepona sehingga menyebut Eva jadi Evi...
BalasHapusEvaaaa makasih ya reportasenya manis dan gurih *sedang jajan cilok ama gulali soalnya* .. #bighugs
Seru ya mbak isa belajar bareng2... Menjahit memang menyenangkan.
BalasHapusWuah aku seneng sekali kalau mendengar kata doodle teh Evi...
BalasHapusKeren dan seru acaranya
Kunjungan perdana mbak,salam kenal.
BalasHapusmampir ya di blogq :)
aku suka menjahit juga mbak...mesin jahit brother memang bagus ya mbk
BalasHapusBeneran gak sulit pake mesin jahit brother ya, mbak? Nabung ah ^^
BalasHapusTernyata kegiatan menjahit gak kalah seru dengan ngeblog ya mbak. :D
BalasHapus