aksara Nusantara,

Digitalisasi Aksara Nusantara Untuk Apa?

05.36 Eva Sri Rahayu 0 Comments

 

Digitalisasi Aksara Nusantara Untuk Apa? (Sumber gambar merajutindonesia.id)


Saya ingat sewaktu SD, pelajaran muatan lokal Bahasa Sunda terasa sangat menyiksa. Apalagi ketika mesti menulis aksara Cacarakan. Menyiksa sekali. Hampir tiga dekade berlalu, saya menemukan masalah yang sama ketika Rasi—anak saya sering mengeluh mengenai pelajaran Bahasa Sunda. Bagaimana pelajaran itu selain tidak menarik juga membuatnya tertekan. Ketika saya kecil, saya sering dipuji karena bisa menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik, tapi juga dapat berkata-kata Bahasa Sunda yang tepat untuk berbicara dengan orang tua. Pada waktu itu, anak-anak—terutama di kampung—masih jarang menggunakan Bahasa Indonesia untuk keseharian. Sekarang, terjadi hal sebaliknya. Bahkan, kini mendengar anak usia 5 tahunan fasih bicara Bahasa Inggris ketimbang bahasa daerah sudah bukan lagi sesuatu yang mengherankan. 

“Dalam 3 dekade, permasalahan tetap menjadi persoalan yang belum terpecahkan. Namun, apa yang tadinya bukan perkara menjadi permasalahan.”

Kembali ke akar, bukan berarti menjadi masyarakat tertinggal. Stigma kebudayaan—lebih jauh—peradaban Nusantara dengan segala unsur budayanya (bahasa dan aksara, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian) telah kuno dan tak selaras dengan perkembangan zaman yang diwacanakan oleh gempuran globalisasi dan bahkan masyarakat Indonesia sendiri harus perlahan-lahan dihapuskan untuk melahirkan generasi yang memiliki jati diri.

Saya pernah menulis mengenai apa pentinya melestarikan aksara dan bahasa Nusantara di Selayang Pandang Mengenai Pentingnya Melestarikan Aksara dan Bahasa Nusantara

Pada intinya, saya berkesimpulan bahwa “Kepunahan satu bahasa dan aksara turut mengubur wawasan, keahlian, dan kebijakan yang hanya dapat dibuka oleh kunci tersebut.”

Digitalisasi Aksara Nusantara Untuk Apa?

Kita mungkin pernah mendengar bahwa akses untuk mempelajari kebudayaan Nusantara terasa terbatas. Katakanlah, aksesnya baru banyak terbuka untuk ruang-ruang akademik dan penelitian. Kabar baiknya, sekarang masyarakat umum telah banyak dilibatkan. Terutama setelah segala hal berbau virtual merajai kehidupan. Proses edukasi berupa video tutorial, webinar, simposium, hingga media sosial dapat diakses oleh masyarakat luas. 

 

Sumber gambar merajutindonesia.id

Namun, apakah itu sudah cukup untuk melahirkan regenerasi yang melekatkan budaya Nusantara dalam kehidupannya? 

Sebagai pengguna Twitter aktif, ada hal-hal menarik yang saya temukan mengenai aksara Nusantara di media sosial tersebut. Pertama, saya melihat beberapa akun menggunakan aksara Nusantara untuk nama akunnya. Kedua, saya beberapa kali menemukan perbedabatan mengenai penggunaan aksara Nusantara. Mereka mendebatkan satu aksara yang dianggap bukan aksara Nusantara, namun dipakai secara formal untuk keterangan Gedung pemerintahan. Hal pertama merupakan contoh baik, bagaimana penggunaan aksara Nusantara dalam keseharian. Namun, hal kedua memperlihatkan kurangnya edukasi di masyarakat yang menjadi bahan perpecahan. Artinya, dibutuhkan suatu sistem dimana aksara Nusantara dikenali oleh masyarakatnya sendiri.  Dibutuhkan inovasi di bidang hal yang menyentuh ekosistem kehidupan keseharian.

Pada ‘Bincang MIMDAN #2’ yang saya ikuti, saya menemukan salah satu inovasi yang dapat menjadi jawaban. Acara yang dibuat Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI)—lewat program Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (MIMDAN) di akun Instagramnya membedah mengenai perjalanan digitalisasi aksara Nusantara. Apa, sih, pentingnya aksara Nusantara didigitalisasi dan mengapa menjadi salah satu jawaban? Anak-anak usia dini yang fasih berbahasa Inggris mengakses dan belajar bahasa tersebut dari ponsel mereka. Artinya dari hal-hal berbau digital. Jadi, bayangkan betapa krusialnya digitalisasi aksara Nusantara. Bukan rahasia bahwa untuk memasyarakatkan sesuatu kuncinya ada di penyajian. Ketika aksara Nusantara tersedia di ponsel dan berbagai perangkat, seluruh lapisan masyarakat dapat menggunakannya dengan mudah untuk berbagai hal. Dari sekadar hiburan hingga pendidikan. Mulai dari hanya penasaran sampai tujuan adiluhung. Lewat digitalisasi, stigma usang berganti faktual. Pada akhirnya akan bermunculan para penutur dan pemakai aksara dan bahasa Nusantara.

Proses Digitalisasi Aksara Nusantara

Proses digitalisasi aksara Nusantara oleh PANDI telah berlangsung selama setahun. Tentunya, Namanya proses tidak pernah mudah. Kedua pembicara, Ilham Nurwansyah dan Ratih Ayu, menceritakan proses digitalisasi ini. Prosesnya meliputi pembuatan font, standardisasi aksara, sampai implementasinya pada berbagai perangkat. Sebelum dapat digunakan di bermacam gawai, aksara-aksara tersebut harus terdaftar dulu di Unicode. Unicode sendiri menurut Wikipedia adalah suatu standar teknis yang dirancang untuk mengizinkan teks dan simbol dari semua sistem tulisan di dunia untuk ditampilkan dan dimanipulasi secara konsisten oleh komputer. Setelah terdaftar di Unicode, baru bisa didaftarkan ke lembaga internet dunia, Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN).

Ratih Ayu mengatakan bahwa aksara Jawa pernah ditolak pendaftarannya oleh ICANN karena kekurangan pemakai atau masuk kategori Limited Use Script. Ini seperti lingkaran persoalan. Digitalisasi sebagai usaha sosialisasi, tapi justru pendigitalisasian mesti memenuhi syarat jumlah pemakai.

Kita sering kesal ketika mendengar peristiwa hak intelektual budaya kita diakui negara lain, tapi tidak bergerak untuk turut melindungi dan melestarikannya. Namun, sekarang kita bisa turut berkontribusi dengan tindakan sederhana: memakai aksara Nusantara di gawai kita. Hal itu bisa membantu memuluskan proses pendaftaran hak cipta dan digitalisasi. Kamu bisa mengunduhnya di sini.

 

Sumber gambar merajutindonesia.id

Terus terang, saya menunggu speak terjang inovasi lainnya dari PANDI. Misalnya saja membuat buku anak bilingual yang dwi aksaranya bukan Indonesia – Inggris, tapi Indonesia dan aksara daerah. Sehingga sejak dini, anak-anak sudah terbiasa melihat aksara daerah. Kembali lagi, penyajian menjadi kunci.

Gerakan-gerakan semacam itu sebenarnya tunasnya mulai dapat dilihat di mana-mana. Saya sendiri bersama tim di studio membuat serial animasi yang menggunakan aksara dan simbol-simbol Nusantara. Sebuah usaha lewat digitalisasi juga yang harapannya selaras dengan PANDI: menyentuh keseharian masyarakat. Semoga saja, berbagai gerakan di berbagai lini dapat dikolaborasikan. Kita membutuhkan gaung yang lebih lantang untuk usaha pelestarian ini. Seperti bunyi, tepuk tangan banyak orang akan lebih terdengar dibandingkan tepuk tangan seorang saja.

You Might Also Like

0 komentar: