[Review] Film Istirahatlah Kata-Kata: Sunyinya Pelarian,
Proses Kelahiran Karya Dalam Pelarian
Keterangan:
[Review] Film Istirahatlah Kata-Kata: Proses Kelahiran Karya Dalam Pelarian
Wiji dalam pelarian di film Istirahatlah Kata-Kata (sumber gambar screenshot trailer film di youtube) |
Adakah persembunyian lebih sunyi dari benak yang ingar oleh kata-kata? Adakah yang lebih menakutkan dari dipaksa bungkam? -Eva Sri Rahayu-
Beberapa orang yang telah menonton film "Istirahatlah Kata-Kata" mengatakan lebih baik membaca biografi Wiji Thukul dulu sebelum menonton filmnya untuk menghindari kebingungan pada siapakah sosok yang dibidik kisahnya dalam film ini. Namun, saya yang hanya tahu sekadarnya, ngeyel, tetap tak menggali lebih dalam dulu tentang beliau. Saya ingin menikmati film ini tanpa ekspektasi. Biarlah saya mengenal seorang Wiji yang di-framing oleh Yosep Anggi Noen, sang sutradara.
Film dibuka dengan penyampaiam informasi mengenai pergolakan politik yang terjadi di Indonesia lewat teks, adegan interogasi polisi pada anak Wiji, suara pembaca berita di radio, dan dialog makan malam. Penyampaian konflik dan pengenalan Wiji menggunakan media pembacaan berita radio dan dialog ini menurut saya halus. Penonton diberi informasi cukup untuk mengetahui duduk masalah yang dihadapi Wiji hingga menjadi buronan. Bagi penonton yang belum mengenal Wiji pun, saya kira sudah diberi bayangan.
Mas, kenapa nama Anda masuk daftar? Apa karena puisi-puisi?
Adegan berlanjut ke pembacaan puisi yang judulnya diangkat menjadi judul film ini. Terus terang, saya baru pertama mendengarnya. Maafkan atas kekurangtahuan ini. Awalnya ketika membaca judul "Istirahatlah Kata-Kata" saya mengira-ngira itu merupakan metafor dari "hilangnya sang penyair", ternyata setelah menyimak puisi keseluruhan, bukan. Atau bisa jadi memang bisa dimaknai bermacam-macam tergantung dari penontonnya. Yosep tampaknya senang bermain simbol, karena sepanjang film, bertebaran simbol-simbol yang minta dimaknai sendiri oleh penonton. Terkadang saya berusaha keras menjabarkan simbolnya, di lain waktu saya menikmati saja.
"Istirahatlah Kata-Kata" mengetengahkan tentang masa pelarian Wiji Thukul di Pontianak. Digambarkan dengan adegan-adegan lambat sehingga penonton diberi ruang penghayatan yang mumpuni. Film ini saya nilai solid menyampaikan tujuannya. Mulai dari warna film yang gelap, latar tempat-tempat kumuh, akting para pemain, hingga dialog minimnya yang seakan ingin mengukuhkan tidak ada satu kata pun yang tersia-sia tanpa maksud tujuan jelas. Ditambah kekuatan puisinya. Dan tentu saja musiknya, terutama musikalisasi puisi "Bunga dan Tembok" oleh Fajar Merah--anak Wiji. Film ini menyediakan ruang apresiasi untuk kolaborasi ayah dan anak, meski dipisah ruang dan waktu. Semua unsur tadi menyediakan kesunyian pelarian.
Akting Gunawan Maryanto begitu memukau. Ekspresi, gestur, hingga caranya berdialog berhasil meyakinkan saya bahwa begitulah adanya seorang Wiji. Saya menjadi merasa mengenal Wiji dari dekat. Ketakutannya, olah pikirnya, semangatnya. Seorang teman pernah mengatakan, "Akting adalah kepura-puraan yang meyakinkan." Gunawan membuktikan itu. Gunawan juga mampu mendialogkan kalimat-kalimat puitis dan keseharian dengan natural. Dialog puitis buat saya memiliki tingkat kesulitan tinggi. Marissa Anita yang memerankan Sipon, istri Wiji, merupakan partner akting yang sepadan. Marrisa berhasil mentransferkan kegelisahan istri aktivis yang manusiawi, tegar, namun tertekan. Menuju ending, kisah film ini tampaknya sedang meluruskan satu selentingan tak sedap mengenai Sipon.
Sipon diperankan oleh Marrisa Anita (sumber gambar screenshot trailer film di youtube) |
Proses Kelahiran Karya Dalam Pelarian
Ada dua hal paling berkesan dari film ini bagi saya. Pertama, film ini menggambarkan pelarian dari kaum akar rumput. Bahwa kesetiakawanan yang lahir dari gelombang pergerakan begitu kuat. Wiji di sini digambarkan begitu sederhana, bagaimanalah dia bisa menjalankan pelarian hingga ke provinsi lain kalau bukan atas bantuan kawan lainnya, bagaimana dia bertahan dari hari ke hari mengisi perut, lalu bagaimana dia kemudian mendapat identitas baru. Kawan-kawannya tak gentar sedikit pun menampung buronan.
Kedua, dari satu adegan yang memperlihatkan percakapan seorang mahasiswa dengan Wiji, saya dapat menyimpulkan bahwa beliau memilih jalan pergerakan menentang tirani atas kesadaran penuh. Dialognya sendiri yaitu pernyataan lawan bicara Wiji yang mengatakan dia tak lagi banyak membaca buku karena merasa bersalah bila bungkam. Pemikiran dan semangat Wiji itulah yang membawanya perlahan lepas dari berbagai ketakutan selama dalam pelarian. Kekuatan pikiran dan kata.
Film ini bagi saya merupakan penggambaran satu proses kelahiran karya Wiji yang lain. Lahir dari pengalaman kerasnya pelarian. Begitulah, bahwasannya ketakutan dan kegelisahan menjadi amunisi puisi-puisinya. Karya-karya yang beliau serahkan pada kawannya yang bernama Yosep Adi Prasetyo alias Stanley, seorang mantan anggota Komnas HAM. Dalam Jurnal Volume VIII No. 1 Tahun 2012 yang memuat tulisan Stanley bertajuk "Puisi Pelarian Wiji Thukul", Stanley memperkirakan puisi Wiji berjumlah 27. Puisi-puisi itu diperkirakan ditulis pada tahun 1996 setelah Wiji ditetapkan sebagai buronan*
Puisi-puisi dalam pelarian, pengejaran yang gagal membungkam. Pada akhirnya, Wiji tak pernah kehilangan kata-katanya.
3,5 dari 5 bintang dari saya.
kuterima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah
tapi aku ucapkan banyak terima kasih
karena kalian telah memperkenalkan sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajari anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini
ini tak diajarkan di sekolahan
tapi rejim sekarang ini
memperkenalkan kepada semua kita
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan
kekejaman kalian
adalah buku pelajaran
yang tak pernah ditulis!
--Wiji Thukul
Puisi-puisi dalam pelarian, pengejaran yang gagal membungkam. Pada akhirnya, Wiji tak pernah kehilangan kata-katanya.
3,5 dari 5 bintang dari saya.
kuterima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah
tapi aku ucapkan banyak terima kasih
karena kalian telah memperkenalkan sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajari anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini
ini tak diajarkan di sekolahan
tapi rejim sekarang ini
memperkenalkan kepada semua kita
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan
kekejaman kalian
adalah buku pelajaran
yang tak pernah ditulis!
--Wiji Thukul
Keterangan:
*Sumber: http://m.beritasatu.com/budaya/91833-puisi-pelarian-wiji-thukul.html
**Terima kasih pada Forum Film Bandung Community yang telah memberi saya kesempatan menyaksikan film ini.
Wiji thukul seorang pemberani..
BalasHapusfilmnya sesunyi kesendirian wiji thukul dalam pelarian
BalasHapusGak nyangka Marisa bisa acting. Penasaran ma filmnya mbak. TFS :D
BalasHapusSelama ini hanya sekedar tahu bahwa Wiji Thukul adalah penyair dan sering disebut musuh pemerintah, pada masanya. Terima kasih reviewnya, jadi makin penasaran sama Istirahatlah Kata-Kata.
BalasHapusfilm ini terasa membuat penonton berfikir memaknai adegan dan dialog yg dilontarkan aktor/aktrisny
BalasHapusAku belum tahu sosok Wiji Thukul mba namun belakangan bnyk beredar buku ttg beliau niat pgn baca eh trnyata ada filmya :) makasi mba Eva reviewnya bikin penasaran :)
BalasHapustemen2 ku bahas film ini terus mbak, gak di puter di bioskop kah ?
BalasHapusSayangnya film ini hanya diputar di beberapa bioskop ya mba. Makasih review-nya mba :)
BalasHapusPenasaran sama film yang satu ini neh.
BalasHapusPenasaran pengen nonton
BalasHapusSaya nonton film ini dihari pertama diputar di bioskop, pengetahuan tentang Wiji Thukul juga seadanya. Tapi film ini berhasil memperkenalkan saya dengan beliau. Nice review :)
BalasHapusAda beberapa adegan yang menurutku kentang..
BalasHapusMisal adegan waktu dia cukur rambut yang membuat si tentara tidak bertanya lebih dalam. Kemudian perubahan emosi setelah poting rambut, si wiji lebih pede.
Trus waktu sipon bersiul lagu.. kenapa ga bernyanyi saja?
Dan bebrapa lainnya hehe
DeddyHuang.com