Koboy Kampus,

Film Koboy Kampus: Jalan Lain Berdemo

03.11 Eva Sri Rahayu 0 Comments



Ketika saya menjadi mahasiswi, seringkali organisasi mahasiswa yang saya ikuti mendapat undangan berdemo untuk mengkritisi berbagai hal. Kadang saya berpartisipasi meski dalam kepala berpikir “Masih efektifkah demo turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi?” Jika menengok jauh ke belakang lagi, saya menyaksikan di layar TV bagaimana aksi demonstrasi besar-besaran gabungan mahasiswa dari seluruh penjuru Indonesia berhasil menurunkan presiden Soeharto yang saat itu telah menjabat selama puluhan tahun. Namun, zaman terus berubah, bukan? Cara menyampaikan aspirasi pun makin kaya. Pemikiran itu kembali menyeruak ketika menonton film Koboy Kampus.


Film Koboy Kampus menceritakan kisah nyata Pidi Baiq bersama kawan-kawannya di kampus ITB jurusan Seni Rupa yang tergabung dalam The Panasdalam yang pada awal berdirinya pada tahun 1995 bernama NKRTPD akronim dari Negara Kesatuan Republik The Panasdalam. The Panasdalam kependekan dari The untuk aTheis, Pa untuk Paganisme, Nas dari Nasrani, Da untuk HinDu dan BuDha, sedang Lam untuk IsLam. Menandakan keberagaman. Teritorial NKRTPD hanya sebesar studio kampus. Kala itu demonstrasi mahasiswa sedang panas-panasnya untuk menggulingkan kekuasaan Soeharto. Pidi Baiq memiliki pemikiran lain untuk menyampaikan pemikirannya. Lewat stimulus dari Nova—kekasih sahabatnya, Ardi—yang mengkritisi perjuangan lewat demo, Pidi memiliki gagasan untuk mendirikan sendiri negara sebagai jalan lain menyampaikan aspirasi. Memang, tak dijelaskan apa yang menyebabkan Pidi dan kawan-kawan The Panasdalam tidak memilih berdemo, sehingga saya hanya mampu berasumsi mengenai alasannya. Mengenai status kewarganegaraan ini narasi menarik yang menjadi benang merah keseluruhan film yang berkesan berbentuk sketsa-sketsa. Maka tidak heran jika film dibuka dengan pernyataan Pidi Baiq bahwa dahulu dia dulu bukan warga negara Indonesia.

Maka bergulirlah kisah para koboy kampus yang terdiri dari Pidi (Jason Ranti), Ninu (Ricky Harun), Erwin (David John Schaap), Dikdik (Miqdad Addausy), dan Deni (Bisma Karisma). Mahasiswa-mahasiswa yang gelisah akan kelulusan, cinta, negara, sampai nama baik kampus. Pride kampus ini bahkan menjadi quote filmnya:

Kampusmu adalah kampusmu, tetap yang terbaik. Orang-orang harus tahu. Semuanya adalah romantisme, sisanya adalah perjuangan. –Pidi Baiq

Awalnya saya bingung, jika memang pendirian NKRTPD yang merupakan jalan lain untuk berdemo lewat kreativitas, bagaimana mereka menyebarkan gagasannya? Semakin sini saya menangkap secara implisit mereka menyampaikan gagasan-gagasannya lewat, pertama, musik. Film ini kaya akan musik yang jika disimak lirik-liriknya memiliki makna dalam. Musik memang menjadi salah satu kekuatan film ini. Seperti yang saya sampaikan tadi, film ini berbentuk sketsa-sketsa, saling terhubung tapi bukan kesatuan cerita yang solid. Saya mencurigai sketsa-sketsa ini memang teknik untuk memasukkan lagu-lagu jagoan The Panasdalam. Setidaknya, lewat jalinan cerita Koboy Kampus, penonton diajak untuk menyelami cerita di balik penciptaan lagu-lagu The Panasdalam. Kedua, melalui simbol. Sebagai para mahasiswa jurusan Seni Rupa, permainan simbol tampaknya sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Maka tidak heran ketika sepanjang film, penonton disuguhi berbagai simbol. Seperti logo The Panasdalam, benderanya, sampai jari kelingking.



Magnet lain dari film ini berasal dari divisi akting. Semua pemain berakting natural, meski porsi dan motivasi kehadarinnya kurang jelas. Hal ini saya rasa menjadi tingkat kesulitan sendiri, bagaimana memberi roh pada tokoh yang karakternya hanya sepotong. Apalagi mesti menghidupkan humor-humornya sehingga tidak ngeplos begitu saja. Namun, kesukaran itu terlewati. Saya mendengar tawa lepas penonton dari awal sampai akhir film. Buat saya, pemain yang tampil paling cemerlang adalah Kamal Ocon yang berperan menjadi Boris, rasanya tak ada satu pun humor yang gagal pada kemunculan tokoh ini. Tentunya keberhasilan ini merupakan hasil perkawinan sutradara sekaligus penulis skenario Pidi Baiq dan Tubagus Deddy yang bersinergi dengan baik. Dari segi pengambilan gambar pun terlihat effort lebih untuk memberi kesan kekhasan, seperti satu adegan di mana kamera mengikuti beberapa pemain yang berdialog. Setting Bandung tahun 1995 hingga 1998 kurang kental, hanya diwakili beberapa properti seperti telepon umum koin dan mobil yang digunakan.

Selesai menonton Koboy Kampus, kekhawatiran saya bahwa film ini hanya akan dinikmati secara paripurna oleh intern mahasiswa ITB, pupus sudah. Kemudian, pada akhirnya bangunan ceritanya pun terasa mengutuh di akhir kisah oleh benang merah kecintaan pada bangsa lengkap dengan keberagamannya. Film ini menawarkan hiburan dan pemikiran yang disampaikan dengan ringan. Mau memaknainya mendalam seperti menyodorkan cara kreatif menyampaikan gagasan selain dengan berdemo, atau hanya menjadi media romantisme masa perkuliahan.

You Might Also Like

0 komentar: